Senin, 27 April 2009

Kualitas Pendidikan Dasar Indonesia di Bawah Kamboja

Jakarta - Ironis. Ungkapan ini cukup tepat untuk menggambarkan komitmen pemerintah terhadap peningkatan pendidikan dasar. Posisi Indonesia menduduki peringkat 10 dari 14 negara berkembang di kawasan Asia Pasifik. Duh! Peringkat ini dilansir dari laporan monitoring global yang dikeluarkan lembaga PBB, Unesco. Penelitian terhadap kualitas pendidikan dasar ini dilakukan oleh Asian South Pacific Beurau of Adult Education (ASPBAE) dan Global Campaign for Education. Studi dilakukan di 14 negara pada bulan Maret-Juni 2005. Laporan ini dipublikasikan pada 24 Juni lalu. Rangking pertama diduduki Thailand, kemudian disusul Malaysia, Sri Langka, Filipina, Cina, Vietnam, Bangladesh, Kamboja, India, Indonesia, Nepal, Papua Nugini, Kep. Solomon, dan Pakistan. Indonesia mendapat nilai 42 dari 100 dan memiliki rata-rata E. Untuk aspek penyediaan pendidikan dasar lengkap, Indonesia mendapat nilai C dan menduduki peringkat ke 7. Pada aspek aksi negara, RI memperoleh huruf mutu F pada peringkat ke 11. Sedangkan aspek kualitas input/pengajar, RI diberi nilai E dan menduduki peringkat paling buncit alias ke 14. Indonesia hanya bagus pada aspek kesetaraan jender B dan kesetaraan keseluruhan yang mendapat nilai B serta mendapat peringkat 6 dan 4. "Sangat ironis karena Thailand yang mengalami krisis bisa menempatkan diri menjadi rangking satu," ujar aktivis LSM Education Network for Justice (E-Net), M Firdaus, saat menjadi pembicara dalam seminar pendidikan mengenai laporan ini di Gedung YTKI, Jl Gatot Soebroto, Jakarta Selatan, Rabu (29/6/2005). Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas, Fasli Jalal, menganggap laporan tersebut memang tidak jauh dari kenyataan. Faktor utamanya adalah populasi penduduk Indonesia yang sangat besar. Untuk itu, pada tahun ajaran 2005, Depdiknas akan mencanangkan pendidikan gratis untuk tingkat SD dan SMP. "Pungutan sekolah akan ditiadakan," ujarnya. Meski, lanjut dia, proses pengucuran dana ke sekolah akan mengalami keterlambatan dan baru tiba pada Agustus mendatang. "Uang SPP yang sudah dipungut tetap akan dikembalikan ke orangtua secara utuh," tukasnya. Namun, status cuma-cuma itu tidak diterapkan untuk sekolah swasta. Depdiknas tetap membolehkan sekolah swasta menarik uang bayaran. "Yang jelas, kami mengharuskan 10 persen peserta didik di sekolah swasta ditujukan untuk keluarga yang tidak mampu. Mereka pun harus tetap digratiskan," tegas Fasli. Namun, sekolah gratis ini masih belum diberlakukan untuk kategori Sekolah Teknik Menengah (STM). Alasannya, STM belum masuk dalam kriteria wajib belajar. "Kami akan tetap memperbanyak jumlah beasiswa," tandasnya. Mina Sarjuani dari Direktur Agama dan Pendidikan Bapennas merinci pemerintah mengalokasikan biaya operasional untuk 28,89 juta siswa SD Rp 235.000 persiswa setiap tahunnya. Sedangkan untuk 10,74 juta siswa SMP akan dikucurkan dana Rp 324.500 persiswa setiap tahunnya.
sumber:
http://www.detiknews.com/read/2005/06/29/134044/392773/10/kualitas-pendidikan-dasar-indonesia-di-bawah-kamboja

Pemerintah A.S. Berikan Tambahan Bantuan 65 Juta Dolar untuk Pendidikan Dasar, Kesehatan, dan Lingkungan di Indonesia

(Jakarta 8 Juli 2005) Pemerintah AS dan Indonesia hari ini menandatangani dua perjanjian yang menyediakan dana bantuan tambahan senilai $65.939.524 untuk Indonesia. Kedua perjanjian ini menjadi dasar dilanjutkannya program pembangunan bilateral multi-tahunan untuk membantu meningkatkan kualitas pelayanan manusia Indonesia. Program yang dikelola USAID dalam kemitraan dengan Pemerintah Indonesia ini mendukung pencapaian sasaran komunitas lokal dalam meningkatkan pendidikan dasar, pelayanan kesehatan, air, sanitasi, gizi, dan lingkungan.

Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Deputi Menteri bidang Pendidikan dan Administrasi Negara,

Prof. Fuad Abdul Hamied, dan Deputi Menteri bidang Kesehatan dan Lingkungan, H.M. Sukawati Abubakar, dan Direktur USAID William M. Frej. Penandatanganan ini juga dihadiri oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab dan Dubes Amerika Serikat untuk Indonesia, B. Lynn Pascoe. Dalam upacara tersebut, William Frej mengatakan,“USAID bersatu dengan rakyat Indonesia bekerja menuju masa depan dimana semakin lebih banyak masyarakat menikmati air bersih, kesehatan yang lebih baik serta pendidikan yang lebih maju. Perjanjian ini memberikan kita satu langkah penting menjadi lebih dekat.”

Perjanjian bersejarah ini adalah upaya terkini yang dilakukan oleh pemerintah A.S. dalam program pembangunan ekonomi, demokrasi dan sosial yang telah membantu rakyat Indonesia selama lebih dari 50 tahun. Saat ini, pemerintah A.S. melalui USAID menyediakan sekitar 160 juta dolar A.S. bagi Indonesia setiap tahun untuk berbagai proyek yang mendukung transisi demokrasi, pertumbuhan ekonomi, reformasi pendidikan, dan pemberian pelayanan kemanusiaan dasar di Indonesia. Pemerintah A.S melalui USAID juga menyediakan lebih 400 juta dolar A.S. untuk upaya-upaya pemulihan dan pembangunan kembali di Aceh dan Sumatra Utara.

sumber:

http://jakarta.usembassy.gov/bhs/siaran-pers/bantuan-pendidikan.html

UN SD DINILAI PREMATUR

Kebijakan pemerintah menyelenggarakan ujian nasional sekolah dasar (UN SD) pada 2008 prematur. Selain itu, masing- masing SD di setiap wilayah memiliki standar kualitas pen- didikan yang sangat berbeda dan kondisi psikologis anak yang memang belum siap menghadapi UN.

Pandangan itu disampaikan pakar pendidikan dari Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta M Marcellino dan Ketua Komisi Nasional Per- lindungan Anak (Komnas PA) Seto Mulyadi, saat berbincang dengan SP, di Jakarta, Selasa (25/9).

Marcellino menerangkan, anggaran untuk UN SD dalam RAPBN 2008 sebesar Rp 500 miliar untuk sekitar lima juta murid sebaiknya digunakan untuk perbaikan mutu pendidikan SD.

Dan hal itu bisa meningkatkan mutu guru dan penambahan prasarana yang sangat di- butuhkan, seperti buku-buku perpustakaan dan alat bantu mengajar.

Dia mengatakan, sangat penting bagi pemerintah untuk melakukan pembenahan berbagai program, salah satunya adalah kurikulum SD. Pembenahan kurikulum SD adalah dengan meninjau kembali materi-materi pengajaran per mata pelajaran.

"Ini dilakukan dengan cara kerja sama antarguru sesama mata pelajaran di tiap rayon. Tujuannya agar mutu pelajaran di SD-SD per rayon tersebut lebih kurang bisa sama," katanya. Marcellino melanjutkan, bila diadakan standardisasi mutu lulusan SD, biarlah sekolah-sekolah itu digabungkan dalam rayon regional dulu untuk memperbaiki mutu pendidikan, setelah guru-guru ditatar, kurikulum ditinjau bersama, materi pelajaran diperbaiki, prasarana-prasarana dilengkapi.

"Setelah itu, barulah sekolah mengadakan ujian untuk tingkat SD per rayon dan per wilayah. Ini pun pelaksanaannya harus dilakukan dengan hati-hati dan cermat. Materi ujian dibuat bersama dari sekolah-sekolah gabungan tadi," tuturnya.

Bila itu sudah tercapai dengan baik, menurutnya, gabungan rayon-rayon yang lebih besar dapat dilakukan agar standardisasi lulusan mencakup area yang lebih luas. "Ini dikerjakan terus secara berkesinambungan dan merambah wilayah lainnya. Kemudian, cakupan wilayah yang siap UN semakin besar dan mengarah pada standardisasi nasional," ujarnya.

Pandangan serupa disampaikan Seto Mulyadi. Dia mengatakan, sebelum menyelenggara-kan UN SD, kebutuhan anak-anak harus sudah terpenuhi dalam bidang lain. Artinya, sebelum evaluasi distandardisasikan, proses pendidikan perlu distandardisasikan terlebih dulu. Menurut Seto, UN adalah evaluasi yang distandardi- sasikan.

Sampai kini, kata Seto, masih banyak guru yang kurang memahami kondisi psikologis anak. "Kalau bidang lainnya saja belum distandardisasi, jangan memaksakan UN bagi anak, kecuali UN SD hanya benar-benar untuk pemetaan saja atau untuk memperoleh gambaran konkret," katanya. Kalaupun UN SD tetap dipaksakan, kata Seto, para siswa hanya akan menjadi korban kebijakan pemerintah. Dia mengingatkan, bagi siswa yang gagal UN akan ada gangguan psikologis dan bisa mengalami trauma.

Desentralisasi

Sementara itu, Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Suyanto mengatakan, kelulusan UN SD yang diselenggarakan tahun depan akan bersifat desentralisasi. Standar nilai kelulusan untuk UN SD diserahkan kepada provinsi untuk menetapkannya sesuai dengan kemampuan daerah.

"Namun, semua ini belum final, masih menunggu masukan dari berbagai pihak untuk menyempurnakan kebijakan tersebut. Pembuatan soal untuk UN SD ini lebih banyak provinsi ketimbang pusat, yakni 75 persen ditetapkan provinsi, dan 25 persen dipasok pemerintah pusat," ujarnya.

Dia mengatakan, setelah semua siap dan kebijakan ini sudah memperoleh penyempurnaan, maka akan dikeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) untuk memberlakukan UN SD pada 2008. Namanya juga akan diganti, bukan UN tapi menjadi ujian SD/MI (madrasah ibtidaiyah) berstandar nasional.

sumber:http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=3904

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA & SASTRA INDONESIA SD (IND-SD)

Mengingat pentingnya pelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar sebagaimana tersirat dalam Kepmen Nomor 060/U/1993 tentang kurikulum Pendidikan Dasar, maka seharusnyalah pelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar dibina dengan sebaik-baiknya. Untuk itu guru Sekolah Dasar perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan mengajar bahasa Indonesia sebaik mungkin. Sejak mereka masih dalam pendidikan di PGSD mereka sudah harus dipersiapkan untuk dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan mengajarkan bahasa Indonesia. Untuk maksud tersebut diperlukan dosen-dosen bahasa Indonesia yang profesional di PGSD.
Untuk dapat menghasilkan guru bahasa Indonesia SD yang profesional, PGSD membutuhkan dosen-dosen yang kompeten. Untuk tujuan inilah Program S2 Pendidikan Bahasa Indonesia Sekolah Dasar perlu diselenggarakan. Program S2 Pendidikan Bahasa Indonesia yang telah ada di Program Pascasarjana adalah untuk mempersiapkan dosen-dosen bahasa Indonesia di S1. Mereka ini dipersiapkan untuk mendidik calon-calon guru bahasa Indonesia untuk SLTP dan SMU.
Pembinaan pengajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar memerlukan pula ahli-ahli pengajaran bahasa Indonesia untuk Sekolah Dasar yang memiliki wawasan ke-SD-an, memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang pengajaran bahasa Indonesia khususnya di Sekolah Dasar, sehingga mampu meningkatkan pengajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar, serta mampu memecahkan permasalahan dalam proses belajar mengajar bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Untuk itu perlu diselenggarakan S2 Pendidikan Dasar Bidang Studi Bahasa Indonesia Sekolah Dasar.

VISI

Visi Program S2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SD adalah menjadikan Program S2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia SD sebagai penyelenggara pendidikan unggul yang peduli terhadap nilai kemanusiaan dan menjadi rujukan penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan penerapan ilmu serta teknologi, khususnya dalam bidang pendidikan bahasa Indonesia SD guna mewujudkan manusia Indonesia yang berbudaya, berdaya kreativitas, dan mandiri.

MISI

Misi Program S2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Dasar pada intinya adalah ikut meningkatkan mutu pendidikan dasar, khususnya pada jenjang sekolah dasar. Sejalan dengan konsepsi pokok tersebut, misi Program S2 Pendidikan Dasar ini adalah:
1. Menyelenggarakan pendidikan magister bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Dasar dengan memperhatikan aspek pemerataan dan askes masyarakat.
2. Meningkatkan mutu, relevansi, dan daya saing melalui pendidikan dan pembelajaran penelitian dan perngembangan ilmu dan pengabdian kepada masyarakat dalam bidang kependidikan bahasa dan sastra Indonesia SD.
3. Membangun organisasi yang yang sehat dalam rangka penguatan tatakelola, transparansi, dan pencitraan publik agar menjadi prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Dasar yang handal dan akuntabel.

TUJUAN PROGRAM

Tujuan umum penyelenggaraan Program S2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Dasar adalah meningkatkan pemerataan dan perluasan akses, kualitas, relevansi, dan daya saing serta membangun tatakelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas. Tujuan umum tersebut dijabarkan ke dalam tujuan khusus sebagai berikut.

1. Pemerataan dan Perluasan Akses
a. Mengembangkan program-program pendidikan akademik.
b. Meningkatkan kapasitas kelembagaan dalam rangka meningkatkan daya tampung.
c. Mengembangkan kerja sama dengan perguruan tinggi lain untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas.
d. Meningkatkan kerja sama dengan pemerintah propinsi, kabupaten, dan kota untuk mengembangkan SDM melalui pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat di bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Dasar.
e. Meningkatkan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik melalui beasiswa sesuai dengan peraturan yang berlaku.
f. Mmemperluas kesempatan belajar sepanjang hayat melalui pendidikan magister.
g. Mengembangkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sebagai sarana pembelajaran.
h. Meningkatkan peran masyarakat dan alumni dalam penyelenggaraan pendidikan di Program S2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Dasar.

2. Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing
a. Mengembangkan baku mutu akademik secara berkelanjutan.
b. Meningkatkan pengawasan dan penjaminan mutu secara terprogram melalui internal quality assurance, evaluasi diri , dan sistem monitoring dan evaluasi.
c. Meningkatkan relevansi Kurikulum Program S2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Dasar dan kualitas pembelajaran.
d. Meningkatkan dan mendayagunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Dasar.
e. Meningkatkan kreativitas entrepreneurshif dan kepemimpinan mahasiswa.
f. Meningkatkan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan melalui pendidikan gelar dan nongelar di dalam negeri dan di luar negeri.
g. Meningkatkan sarana prasarana untuk memenuhi baku mutu penyelenggaraan pendidikan.
h. Meningkatkan kerjasama dengan lembaga mitra dan alumni di dalam dan di luar negeri.
i. Meningkatkan jumlah dan mutu penelitian dan pengembangan, kegiatan ilmiah, dan publikasi di bidang pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Dasar.
j. Meningkatkan jumlah paten dan hak atas kekayaan intelektuan (HAKI).
k. Meningkatkan peran Program Studi dalam menerapkan ilmu pengetahuan di bidang Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Dasar untuk meningkatkan daya saing masyarakat pendidik di tingkat SD.
l. Meningkatkan kepercayaan pemeritah kota/kabupaten, propinsi atau lembaga penyelenggaran pendidikan dasar formal dan nonformal.

3. Penguatan Tatakelola, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik
a. Meningkatkan penataan organisasi kelembagaan Program S2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Dasar di bawah PPs UM.
b. Meningkatkan sistem manajemen sumber daya manusia di Program S2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Dasar.
c. Meningkatkan citra dan layanan publik melalui berbagai media.
d. Meningkatkan sistem manajemen seluruh substansi secara efisien, efektif, transparan, dan akuntabel.

STRUKTUR KURIKULUM

Dalam usaha untuk mewujudkan kemampuan-kemampuan di atas disusun kurikulum dengan rincian mata kuliah dan kegiatan belajar lain beserta bobot satuan kredit semester (sks) dan distribusinya dalam semester perkuliahan yang dapat dilihat pada Kurikulum Program Magister Pendidikan Bahasa & Sastra Indonesia SD.

sumber:

http://pasca.um.ac.id/v1.0/prodi/indsd.html

Eropa Bantu Pendidikan Dasar di Indonesia

Indonesia mendapatkan dana hibah untuk pengembangan Program Kapasitas Pendidikan Dasar atau Basic Education Capacity -Trust Fund (BEC-TF) dari Pemerintah Belanda dan Komisi Eropa. Dana hibah ini untuk jenis hibah peningkatan kapasitas meliputi 50 kabupaten/kota, hibah program rintisan meliputi 6 kabupaten dan 30 sekolah, serta hibah program pusat pembelajaran yang berhasil bagi 6 institusi pendidikan.

Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, Suyanto dalam acara sosialisasi dan workshop seleksi kabupaten kota calon penerima program Tahun 2008-2009, di Jakarta, Kamis (24/7), mengatakan pada tahap pertama dana hibah dari Pemerintah Belanda dan Komisi Eropa mencapai 51 juta dolar AS atau sekitar Rp 459 miliar. Dari nilai tersebut, 33 juta dolar AS dikelola pemerintah Indonesia dan 18 juta AS dikelola Bank Dunia.

Program BEC-TF ini lebih ditujukan bagi upaya peningkatan kapasitas pemerintah daerah agar dapat meningkatkan peran dan tanggung jawabnya dalam konteks desentralisasi. Kapasitas yang dikembangkan antara lain mencakup penguatan perencanaa, manajemen keuangan, manajemen sumber daya manusia serta sistem monitoring dan evaluasi.

sumber:http://www.kompas.com/read/xml/2008/07/24/22442962/eropa.bantu.pendidikan.dasar.di.indonesia


Pendidikan Dasar Untuk Semua

Dalam 20 tahun terakhir Indonesia telah mengalami kemajuan di bidang pendidikan dasar. Terbukti rasio bersih anak usia 7-12 tahun yang bersekolah mencapai 94 persen. Meskipun demikian, negeri ini masih menghadapi masalah pendidikan yang berkaitan dengan sistem yang tidak efisien dan kualitas yang rendah. Terbukti, misalnya, anak yang putus sekolah diperkirakan masih ada dua juta anak.

Indonesia tetap belum berhasil memberikan jaminan hak atas pendidikan bagi semua anak. Apalagi, masih banyak masalah yang harus dihadapi, seperti misalnya kualifikasi guru, metode pengajaran yang efektif, manajemen sekolah dan keterlibatan masyarakat. Sebagian besar anak usia 3 sampai 6 tahun kurang mendapat akses aktifitas pengembangan dan pembelajaran usia dini terutama anak-anak yang tinggal di pedalaman dan pedesaan.

Anak-anak Indonesia yang berada di daerah tertinggal dan terkena konflik sering harus belajar di bangunan sekolah yang rusak karena alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan pusat yang tidak memadai. Metode pengajaran masih berorientasi pada guru dan anak tidak diberi kesempatan memahami sendiri. Metode ini masih mendominasi sekolah-sekolah di Indonesia. Ditambah lagi, anak-anak dari golongan ekonomi lemah tidak termotivasi dari pengalaman belajarnya di sekolah. Apalagi biaya pendidikan sudah relatif tak terjangkau bagi mereka.

sumber:

http://www.unicef.org/indonesia/id/education.html

mau kemana pendidikan dasar kita?

MUNGKIN kita perlu bersyukur karena hampir semua anak Indonesia telah memperoleh akses pendidikan dasar. Meski demikian, kita juga perlu mawas diri. Dalam rangka mawas diri inilah, saya tidak tahu kita harus menangis atau tertawa jika menengok aneka indikator yang tersedia untuk dikaji.


Salah satu komponen Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yaitu Rata-rata Lama Pendidikan, menunjukkan angka- angka yang kurang membanggakan, terutama setelah merdeka lebih dari setengah abad. Angka tertinggi dimiliki Jakarta (9,7 atau setara dengan lulus SLTP), terutama Jakarta Selatan (10,0 atau setara dengan kelas I SMA), dan terendah adalah Nusa Tenggara Barat (5,2 atau setara dengan kelas V SD) dan Kota Sampang, Jawa Timur (2,5 atau tidak sampai kelas III SD). Apa sebabnya? Setelah lebih dari 60 tahun pendidikan nasional pascapenjajahan, generasi dengan lama pendidikan 0-10 tahun seharusnya sudah berganti dengan mereka yang memperoleh akses lebih baik. Mari kita memeriksa dua indikator penting sebagai berikut


Akses terhadap pendidikan


Akses terhadap pendidikan memberikan informasi kepada publik tentang berapa banyak anak kita yang dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan yang dibangun oleh pemerintah dan masyarakat. Indikator yang digunakan adalah: Angka Partisipasi, Angka Mengulang, Angka Putus Sekolah, Angka Kelulusan, Angka Melanjutkan, dan Angka Penyelesaian. Angka-angka ini bersumber pada data Depdiknas 2002. Di tingkat sekolah dasar (SD/MI) hampir semua indikator cukup memuaskan. Angka Partisipasi tahun 2002 cukup tinggi (APM: 94,04; APK: 113,95; dan APS: 98,53), berarti hampir semua anak usia 7-13 tahun tertampung di sekolah. Angka Mengulang (5,4 persen) dan Angka Putus Sekolah (2,7 persen) cukup rendah.


Persoalan timbul ketika kita mengamati Angka Menyelesaikan (tepat waktu) dan Angka Melanjutkan. Meski kebanyakan anak yang melanjutkan ke SD/MI akan lulus, tetapi hanya sekitar 71,8 persen yang berhasil menyelesaikan sekolah tepat waktu (enam tahun). Angka Melanjutkan juga amat mengkhawatirkan, karena hanya separuh (51,2 persen) yang akhirnya melanjutkan ke SMP/MTs.


Angka Partisipasi di SMP/MTs dan tingkat selanjutnya amat dipengaruhi Angka Menyelesaikan dan Angka Melanjutkan yang relatif rendah. Di tingkat SMP/MTs, Angka Partisipasi 2002 cukup tinggi (APM: 59,18; APK: 77,44; APS: 77,78) dan Angka Mengulang (kurang dari 0,5 persen untuk semua kelas) dan Angka Putus Sekolah (3,5 persen) juga cukup rendah. Sekali lagi yang mengganggu adalah Angka Menyelesaikan karena hanya 45,6 persen yang sanggup menyelesaikan sekolah tepat waktu.


Kualitas pendidikan


Sebagai bangsa yang menyongsong kemajuan Iptek yang amat pesat, kita masih harus berkutat dengan kualitas pendidikan. Terlepas dari kesahihan standar kualitas dalam Ujian Nasional, hasil yang diperoleh adalah baik di tingkat SD/MI maupun SMP/MTs menunjukkan kurang dari 60 persen dari materi belajar yang dikuasai siswa. Ini amat merisaukan. Jika standar kualitas itu digunakan untuk menilai kualitas sekolah di tingkat SMP/ MTs, maka hanya 24,12 persen SMP/MTs yang masuk kategori "sedang" ke atas. Di antara mereka hanya 0,03 persen yang tergolong "baik sekali" dan 2,14 persen tergolong "baik".


Jika rasio guru : siswa (1 : 23) dan siswa : kelas dijadikan salah satu tolok ukur kualitas, maka kesan yang diperoleh adalah standar mutu telah dipenuhi. Meski demikian, pengamatan di lapangan menunjukkan distribusi guru dan kelas memang tidak merata, terutama antara kota dan desa. Selain itu, untuk semua provinsi masih ada sekolah-sekolah SD/MI maupun SMP/ MTs yang harus melakukan jam masuk sekolah ganda (double shift) karena kekurangan ruangan. Ketersediaan Laboratorium IPA, Bahasa, dan IPS baru dinikmati 68 persen dari sekolah SMP/MTs yang ada meski tanpa ada informasi tentang kelayakan fasilitas yang ada. Kualitas fisik yang digunakan sebagai tolok ukur adalah kerusakan atau kelayakan ruang kelas. Data menunjukkan, kurang dari separuh (42,82 persen) fasilitas ruang kelas SD/MI berkategori "baik" dan pada tingkat SMP/MTs 85,78 persen dalam kategori itu.


Kualitas guru sudah menjadi perhatian nasional. Kriteria kualitas ditentukan dengan prasyarat pendidikan, yaitu D2 untuk mengajar di SD/MI dan D3 untuk SMP/MTs. Berdasarkan kriteria itu, hanya 49,9 persen guru SD/MI dan 66,33 persen guru SMP/MTs yang memenuhi standar kualitas. Sayang, standar kompetensi bidang pelajaran fakultatif tidak tersedia.


Akses terhadap buku pelajaran wajib merupakan tolok ukur kualitas yang penting. Pada tingkat SD akses terhadap buku adalah 75 persen untuk bidang studi Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA. Angka akses terhadap buku menyembunyikan keragaman antarprovinsi. Dari data yang tersedia masih ada kesenjangan dalam akses terhadap buku wajib yang berkisar dari 38,8 persen sampai 99,3 persen (persentase penyediaan buku yang paling rendah adalah buku IPA).


Mencari solusi


Rata-rata akses terhadap buku pelajaran wajib pada tingkat SLTP sebesar 70 persen dengan kesenjangan berkisar dari 37,6 persen sampai 99,5 persen. Dari data yang ada, penyediaan buku-buku IPA, Fisika, dan Biologi masih terbatas. Selain akses, mutu dari isi pelajaran juga mungkin bermasalah. Menurut analisis Sri Redjeki (1997), sebagai contoh, ditemukan isi buku-buku teks biologi SD-SLTA di Indonesia tertinggal 50 tahun, begitu pula dengan buku teks geografi SLTP yang menunjukkan banyak informasi yang disajikan sudah usang.


Solusi yang baik berawal dari pengetahuan yang baik atas masalah. Data-data itu tersedia di lingkungan departemen. Artinya, semua birokrat pendidikan tahu masalah dalam angka itu. Meski demikian, ada aneka masalah lain yang diketahui, tetapi tak pernah dijadikan kajian serius dalam policy making. Misalnya, kita tahu dengan subsidi pemerintah, masyarakat mampu menyekolahkan anak ke SD meski masih banyak yang terseok-seok karena biaya yang dipaksakan, yaitu buku pelajaran nonterbitan Depdiknas, seragam, sepatu, serta transportasi dan makanan (jajan) untuk anak. Pada tingkat SLTP, biaya jauh lebih besar. Persoalan ini klasik, tetapi solusi tak ada yang signifikan. Orangtua masih dipermainkan sekolah yang tidak menggunakan buku terbitan Depdiknas, membeli seragam dan membayar ongkos transpor dan makanan anak sendiri.


Hal lain yang juga diketahui adalah pengelolaan pendidikan di Indonesia dilakukan Depdiknas dan departemen lain, khususnya Departemen Agama. Investasi pada sekolah di kedua departemen ini amat berbeda sehingga menciptakan kesenjangan mutu. Kita tahu sekolah-sekolah berbasis agama di bawah Departemen Agama banyak dilakukan dalam skala amat kecil sehingga anak tidak terjamin kelanjutan studinya. Masalah ini diketahui, tetapi jarang dibahas karena sensitif.


Kita juga tahu banyak sekolah SD yang rusak dan tidak layak pakai, tetapi aneka keluhan bagai teriakan di padang pasir. Penyebabnya jelas, tanggung jawab pembangunan ada di tingkat kabupaten (Depdagri melalui kantor dinas). Selain persoalan korupsi, tidak semua pemerintah lokal mempunyai komitmen yang tinggi pada sektor pendidikan.


Kita sadar mutu pendidikan amat ditentukan kualitas dan komitmen guru, tetapi kita tidak dapat melawan kehendak zaman yang kian alergi dengan sekolah keguruan, IKIP, atau FKIP. Profesi guru menjadi tidak menarik di banyak daerah karena tidak menjanjikan kesejahteraan finansial dan penghargaan profesional.


Kita tahu untuk memperbaiki sistem pendidikan dasar secara menyeluruh diperlukan komitmen tinggi masyarakat dan pemerintah. Masalah ini sering menjadi wacana politik dan tetap tinggal sebagai wacana seperti dalam grafik berikut. (grafik)


Dibandingkan dengan negara-negara serumpun, komitmen Indonesia sampai tahun 1999- 2001 adalah yang terendah. Kenyataan ini sudah lebih dari dua dasawarsa.


Menghadapi semua masalah yang seharusnya dapat diatasi satu per satu secara serius, kita justru sibuk mengutak-atik kurikulum, "bermain-main" dengan Ujian Nasional, bereksperimen dengan sistem pengelolaan sekolah, sibuk dengan menata kembali peristilahan, dan mengacuhkan berbagai persoalan yang jelas-jelas ada di depan mata. Padahal, semua yang kita lakukan memerlukan sumber daya yang tidak sedikit yang akan lebih baik dialokasikan untuk menyelesaikan hal-hal yang lebih mendasar dulu. Dalam menyaksikan berbagai gebrakan Depdiknas, kita bertanya: Mau dibawa ke mana anak- anak kita? Jika pendidikan dasar dikelola seperti ini, sepuluh tahun lagi angka-angka yang sama akan kita jumpai. Semoga tidak demikian!

sumber:

http://bungkapit21artikel.blogspot.com/2008/06/mau-ke-mana-pendidikan-dasar-kita.html

Mendiknas: Pendidikan Dasar Gratis Bisa Dilaksanakan

SEMARANG--MI: Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo mengatakan pendidikan dasar gratis dapat dilaksanakan karena telah dijamin dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20/2003.

Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, karena program wajib belajar merupakan tanggung jawab negara, kata Mendiknas. Namun, kata Mendiknas, penyelenggaraan pendidikan dasar gratis perlu diberi batasan yang jelas disesuaikan dengan APBD masing-masing daerah.

Beberapa daerah juga telah melaksanakan pendidikan gratis, antara lain Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Jawa Barat, dan DKI Jakarta, katanya di Semarang, Selasa (17/2).

DKI Jakarta, kata Mendiknas, memang masih membatasi pendidikan gratis untuk sekolah negeri, tetapi di Jawa Barat dan Kalimantan Timur sudah melaksanakannya untuk sekolah negeri maupun swasta. Selain itu, kata Mendiknas, biaya operasional sekolah (BOS), termasuk BOS buku, per siswa/tahun mengalami peningkatan secara signifikan mulai bulan Januari 2009. SD di kota mendapatkan Rp400.000, SD di kabupaten mendapat Rp397.000, SMP di kota Rp575.000, dan Rp570.000 untuk SMP di kabupaten, katanya.

Dengan adanya kenaikan BOS, lanjutnya, maka semua SD dan SMP negeri harus membebaskan siswa dari biaya operasional sekolah, kecuali untuk Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Ia menjelaskan, pemda juga wajib mengendalikan pungutan biaya operasional di SD dan SMP swasta sehingga siswa miskin terbebas dari pungutan tersebut dan tidak ada pungutan berlebih terhadap siswa yang mampu.

Pemda, kata Mendiknas, juga wajib mensosialisasikan dan melaksanakan kebijakan BOS tahun 2009, memberikan sanksi terhadap pihak yang melakukan pelanggaran dan memenuhi kekurangan biaya operasional dari APBD apabila BOS dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) belum mencukupi. Tetapi, sumbangan suka rela dan tidak mengikat kepada sekolah tetap perlu dihidupkan untuk menunjang kegiatan pendidikan, kata Mendiknas

Sumber: Media Indonesia Online
http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NjEyODg=



Dugaan Korupsi Suku Dinas Pendidikan Dasar Jakarta Pusat Dilaporkan ke Polda Metro

JAKARTA--MI: Adhi Sarjono, mantan kepala Suku Dinas Pendidikan Dasar (Sudin Dikdas) Kotamadya Jakarta Pusat tahun 2001 sampai 2004 dilaporkan ke Polda Metro Jaya (PMJ) karena dugaan kasus korupsi.

Dugaan ini berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan workshop sistem pembelajaran IPA, IPS, Matematika, Bahasa Inggris dan bahasa Indonesia untuk guru-guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) di lingkungan Kotamadya Jakarta Pusat pada tahun 2004.

Kepala Satuan Pidana Korupsi Reserse Kriminal Khusus (Reskrimsus) PMJ, AKBP Aris Munandar, membenarkan hal ini, Laporan dari SPK (Sentra Pelayanan Kepolisian) baru masuk hari ini, anggota saya masih melakukan penyidikan, ujar Aris saat dihubungi oleh Media Indonesia, Selasa (2/9).

Dari hasil penyelidikan aparat, ternyata memang ditemukan adanya tindak pidana korupsi. Pada mulanya, acara workshop tersebut seharusnya dilaksanakan di hotel Bintang Jadayat daerah Cisarua, Bogor selama lima hari. Akan tetapi dalam pelaksanaannya oleh panitia dari Sudin Dikdas Jakarta Pusat, kegiatan acara ini dipindahkan ke daerah Jakarta.

Acara yang semula direncanakan selama lima hari ini pun dipangkas waktunya menjadi selama tiga hari dengan tempat gratis di gedung PKG Jakarta Timur. Sedangkan dalam lampiran laporan, kegiatan ini tetap dilaksanakan di hotel Bintang Jadayat Cisarua Bogor.

Akibat ulah pelaku, negara diduga mengalami kerugian sebesar 150 juta rupiah. Belum ada saksi yang dipanggil oleh aparat dalam dugaan korupsi ini, Kasus ini masih terus ditangani oleh Unit II Satuan Pidana Korupsi, pungkas Aris.








http://pojokantikorupsi.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=18&artid=796

Rabu, 15 April 2009

Secara umum, Angka Partisipasi kasar (APK) maupun Angka Partisipasi Murni (APM) Tingkat Sekolah Dasar mengalami peningkatan yang signifikan. Khususnya, pada tahun 2006, APM Tingkat SD dari 82,25 meningkat menjadi 99,24% pada tahun 2007. Sementara itu, apabila dilihat dari APK pada tahun 2006 hanya mencapai 96,50, justru pada tahun 2007 meningkat menjadi 116,20%.

Pertumbuhan siswa SD di Kota Bekasi apabila diproyeksikan dari trend 4 tahun sebelumnya dengan rata-rata kenaikan 3,03%, maka proyeksi hingga tahun 2013 mencapai 271.545 jiwa. Oleh sebab itu, kebijakan ke depan dalam rangka pendidikan dasar gratis, maka perhitungan anggaran pendidikan dapat dilihat dari proyeksi pertumbuhan siswa, guru, dan sarana prasarana pendidikan dasar.

Selama periode 2005-2007, jumlah sekolah dasar di Kota Bekasi mengalami pertumbuhan yang cukup cepat seiring dengan perkembangan pembangunan dan pertumbuhan penduduk. Pada tahun 2005, jumlah SD di Kota Bekasi sebanyak 633 Sekolah Dasar, meningkat menjadi 630 SD pada tahun 2006, kemudian pada tahun 2007 menjadi 707 Sekolah Dasar.

Kondisi Pendidikan Sekolah Dasar apabila diproyeksikan dengan pertumbuhan Peserta Didik Sekolah dasar (Negeri dan Swasta) Dengan kondisi eksisting 2006 mencapai 218.686 siswa, maka angka pertumbuhan yang diproyeksi 3,03% hingga tahun 2013 mencapai 271.545.

Berdasarkan kondisi eksisting Sekolah Dasar Negeri Kota Bekasi, jumlah siswa SD Negeri tahun 2007 sebesar 174.396 Siswa, 5286 guru dan 2.632 kelas, maka Rasio Kelas dengan Siswa adalah 1 : 66, tetapi apabila diasumsikan 1 kelas terdapat 2 rombongan belajar, maka Rasio Rombel : Siswa adalah 1 : 33 Siswa dengan rata-rata kelas di setiap sekolah 7 kelas. Kondisi tersebut apabila diproyeksikan pertumbuhan siswa 2,88% (didasarkan pada LPP) hingga tahun 2013 mencapai 206.787 Siswa, apabila di asumsikan tahun 2008-2013 tidak ada pertambahan jumlah sekolah, tetapi terjadi pertambahan jumlah ruang kelas rata-rata 10 Kelas, maka tahun 2013 diperkirakan terdapat 2.692 kelas. Di sisi lain, jumlah guru apabila diasumsikan naik rata-rata terjadi penambahan per-tahun 2,88%, maka rasio guru : Siswa diperkirakan hingga tahun 2013 adalah 1 : 33 siswa (asumsi ini berada di bawah batas SPM 1 : 40 siswa). Kondisi Pendidikan Dasar (Tingkat Sekolah Dasar).

Berdasarkan hasil Proyeksi di atas, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada 5 tahun ke depan di antaranya adalah:

1) Seluruh siswa usia SD (6-12 tahun) dapat menyelesaikan pendidikan Dasar

2) Sebagaimana visi Walikota Bekasi: Pendidikan Gratis, maka kebijakan ke depan adalah terjadi upaya pemenuhan biaya pendidikan minimal untuk Siswa SDN

3) Pemenuhan kebutuhan tenaga pengajar (apabila dilihat dari asumsi pertumbuhan siswa 2,88%, maka minimal setiap tahun terjadi pertumbuhan jumlah guru 2,88%)

4) Siswa Lulusan SD/MI dapat melanjutkan ke tingkat Menengah SMP/MTs

5) Rehabilitasi dan pembangunan Ruang Kelas dan Unit Sekolah Baru SD Negeri (hal ini diasumsi berdasarkan hasil proyeksi pertumbuhan siswa dan penduduk di Kota Bekasi, dan antisipasi rasio kelas : Siswa yang ideal sebagaimana yang tertuang dalam SMP Pendidikan Kota Bekasi).

Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs)

Secara umum, Pada tahun 2007 proporsi jumlah lembaga pendidikan swasta lebih dominan dibandingkan negeri. Khusus di Tingkat SMP jumlah sekolah swasta sebanyak 206 sekolah sedangkan negeri 34 sekolah. Distribusi kelembagaan SMP dinilai cukup memadai baik dilihat dari rasio pertumbuhan penduduk maupun kapasitas fasilitasnya..

Untuk menciptakan kualitas pendidikan yang baik minimal harus diimbangi dengan tingkat pemerataan yang signifikan, di antaranya adalah rasio penduduk dengan siswa, rasio guru: siswa, Rasio Sekolah: Siswa, Rasio Sekolah: Guru, media atau sarana pendukung, kompetensi guru dan sebagainya.

Distribusi Sekolah SMP saat ini di Kota Bekasi berjumlah 192, dengan perincian menunjukkan bahwa Kecamatan Bekasi Timur (32 Sekolah), Kecamatan Bekasi Utara (24 Sekolah), Jatiasih (21 Sekolah), Pondok Gede (19 Sekolah), Bekasi Barat (18 Sekolah), Bekasi Selatan (17 Sekolah), Medan Satria (17 Sekolah), Rawalumbu (14 Sekolah), Mustikajaya (12 Sekolah), sedangkan yang terkecil jumlah SMP terdapat di Bantargebang (6 Sekolah), dan Pondok Melati (5 Sekolah). Namun data tersebut hendaknya dibandingkan dengan jumlah penduduk keseluruhan dan penduduk Usia 13 – 15 Tahun, maka terjadi ketimpangan di beberapa kecamatan. Hal ini terlihat dari tingkat pemerataan pendidikan dilihat dari jumlah penduduk usia 13 – 15 Tahun.

Berdasarkan data diatas, maka dapat dilihat bahwa rasio sekolah berbanding dengan Siswa rata-rata 1 : 373,75, sedangkan rasio jumlah kelas dengan siswa SMP adalah 1 : 42,92. Berdasarkan Rasio Jumlah Kelas : Siswa, maka dapat terlihat jelas kemampuan layanan kelas untuk Proses Belajar Mengajar (PBM) di beberapa wilayah terlihat dari asumsi jumlah kelas ideal (1 : 40 Siswa), maka Kecamatan Bantargebang (57,02), Kecamatan Mustikajaya (55,63), Jati Sampurna (50,59), Bekasi Timur (44,02), Bekasi Utara (47,14) perlu mendapatkan perhatian serius berkaitan dengan Standard Pelayanan Minimal (SPM) Penyelenggaraan Pendidikan SMP di Kota Bekasi.

Sementara itu, pertumbuhan Peserta Didik Tingkat SMP (Negeri dan Swasta) di Kota Bekasi dari data eksisting tahun 2006 berjumlah 218.686 , apabila diproyeksi rata-rata 3,03% maka pertumbuhan hingga tahun 2013 mencapai 91.250 Siswa berada di SMP negeri dan Swasta di Kota Bekasi.

Berdasarkan data profil pendidikan di kota Bekasi jumlah lembaga pendidikan dasar Tingkat SMP Negeri adalah 34 Sekolah pada tahun 2007, sedangkan tahun sebelumnya berjumlah 31 sekolah SMP Negeri dengan jumlah siswa sebanyak 33497 Siswa. Oleh sebab itu, analisa data minimal dikaji 3 komponen dasar, yaitu: (1) Jumlah Sekolah; (2) jumlah Guru; (3) Jumlah siswa, dengan asumsi 5 tahun data eksisting dan 5 tahun proyeksi dengan mempertimbangkan Rasio Sekolah : Siswa, Rasio Guru: Siswa, Estimasi Rasio Kelas : Siswa, dan Estimasi Jumlah Kelas Per-Sekolah. Proyeksi Kondisi Pertumbuhan rasio tersebut dapat terlihat pada tabel di bawah.

Rasio guru: Siswa untuk semua jenjang pendidikan masih cukup memadai. Akan tetapi khusus tingkat SMP rasio ideal hingga 5 (lima) tahun ke depan perlu diperhatikan dengan baik karena melebih angka Standar Pelayanan Minimal Pendidikan yaitu 1 : 40, sehingga perlu penanganan yang lebih baik.

Namun, dilihat dari tingkat Kompetensi Guru dapat dianalisis meliputi: Latar Belakang Pendidikan Guru dengan Ijazah Tertinggi dan Program Studinya, Bidang Studi/Mata Pelajaran yang Diajarnya di Sekolah. Untuk itulah, penyajian data sebagai basis analisis menjadi prasyarat dalam mengkaji kompetensi Guru SMP di Kota Bekasi, apabila dilihat dari kompetensi sebagaimana tertuang dalam Peraturan Meneteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Guru SMP/MTS minimal Strata I (s-1), maka di Kota Bekasi masih terdapat 938 Guru yang pendidikannya di bawah S-1.

Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa hal yang harus diantisipasi berkaitan dengan Peningkatan Pendidikan Dasar Tingkat SMP di Kota Bekasi, yaitu:

Aspek Kompetensi Guru, perlu menjadi perhatian khusus, terutama standar kompetensi guru sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007, di setiap jenjang pendidikan SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA/MAK.

Aspek Sertifikasi Guru dalam Jabatan dan Sertifikasi Profesi Guru (Dilihat dari Ijzah terakhir dan Bidang Pengajaran). Hal ini akan terlihat dari data jumlah tenaga pendidikan dilihat dari struktur pendidikan di setiap jenjang pendidikan.

Peningkatan APK dan APM Tingkat SMP/MTs

Pemenuhan Kebutuhan Tenaga Pengajar dilihat dari Angka Rasio Guru dan Murid

Pemenuhan Biaya Pendidikan SMPN

Peningkatan Siswa Lulusan SMP/MTs untuk melanjutkan ke Tingkat SMA/SMK/MA

Peningkatan Rehabilitasi dan Pembangunan ruang kelas serta unit sekolah baru (USB) SMPN di Kota Bekasi. Hal ini berkaitan dengan rasio kelas : murid di tingkat SMPN.


ss