Senin, 04 Mei 2009

pendekatan outdor learning

Aktivitas pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus bukan merupakan hal yang aneh untuk dikuasai guru PLB. Mengingat mereka mengemban tugas sebagi guru yang harus mampu mengembangkan potensi anak berkebutuhan khusus sesuai karakteristik dan tahapan perkembangan anak.

Guru PLB, khususnya guru untuk anak tunagrahita seharusnya mampu menciptakan suasana belajar yang tidak menuntut anak untuk berpikir, sehingga sering menimbulkan kebosanan dan kejenuhan belajar. Anak tunagrahita umumnya belajar di ruang kelas dengan pintu tertutup, dimana keadaan ini memberi kesan menakutkan. Anak tunagrahita
juga dituntut untuk duduk manis mendengarkan cara ajar guru, dipaksa untuk diam, dan
menuruti kemauan guru. Gambaran seperti ini sering ditemukan, dimana tidak terlihat
suasana pembelajaran yang menyenangkan dan memberi anggapan bahwa aktivitas
pembelajaran hanya dapat terjadi di dalam kelas. Gurupun beranggapan, bahwa di dalam
kelaslah guru dapat memberikan materi pelajaran dan tujuan pembelajaran akan lebih
mudah dicapai.

Tuntutan terhadap siswa untuk selalu duduk, dengar, dan catat sudah menjadi budaya
umum di sekolah. Sehingga sangat dikhawatirkan anak tunagrahita memiliki persepsi,
bahwa ILMU HANYA DIDAPAT DI DALAM KELAS. Sikap anak tunagrahita di luar kelas tidak
dianggap sebagai proses pembelajaran. Keadaan ini akan sangat berpengaruh pada
perkembangan aspek fisik, intelektual, emosi dan sosial anak. Hal ini juga dapat
mempengaruhi penyesuaian diri anak tunagrahita dengan lingkungannya, penyesuaian
diri anak tunagrahita dengan tuntutan-tuntutan di luar dan di dalam dirinya, dan
pembentukan pribadi.

Pembelajaran untuk anak tunagrahita harus menarik dan menyenangkan. Hal ini
dimaksudkan untuk menggelitik siswa dan memotivasi pembelajaran. Pembelajaran yang
menyenangkan berarti pembelajaran yang cocok dengan suasana yang terjadi dalam diri
siswa. Bisa para guru perhatikan, jika siswa tidak senang, siswa tidak akan
menunjukkan keperhatian atau ketertarikannya pada pembelajaran. Ujungnya, siswa akan
bersikap pasif, jenuh, dan masa bodoh. Ekspresi berikutnya yang akan tampak, pada
saat bel pulang berdering. Mereka akan bersorak-sorai kegembiraan, seolah baru
keluar dari kungkungan waktu dan kelas yang melelahkan dan menjemukan. Ibarat sebuah
penjara …, mereka akan berebutan untuk cepat pulang dan meluapkan kegembiraan
setelah berada di luar kelas.
Proses pembelajaran untuk anak tunagrahita harus benar-benar menyenangkan, sehingga
anak tunagrahita betah untuk belajar. Suasana pembelajaran diciptakan agar tidak ada
penekanan psikologis bagi kedua belah pihak, guru dan siswa. Pendekatan Out-door
learning merupakan salah satu upaya untuk terciptanya tujuan pembelajaran, terhindar
dari kejenuhan, kebosanan, dan persepsi belajar hanya di dalam kelas. Pendekatan
Out-door learning menurut Agus Irawan Sensus dalam Ginting (2005) adalah sebuah
pendekatan pembelajaran yang menggunakan suasana di luar kelas sebagai situasi
pembelajaran serta menggunakan berbagai permainan sebagai media transformasi
konsep-konsep yang disampaikan dalam pembelajaran.

Pendekatan Out-door learning menggunakan beberapa metode seperti ceramah, penugasan,
tanya jawab, dan belajar sambil melakukan atau mempraktekkan kenyataan dengan
situasi bermain. Out-door learning juga menerapkan pembelajaran di luar kelas dengan
media games dan bernyanyi yang sesuai dengan usia perkembangan anak tunagrahita dan
materi yang akan disampaikan.

Guru harus mampu memunculkan kegembiraan dan keinginan siswa untuk bereksplorasi
terhadap lingkungannya, tanpa aktivitas pemaksaan. Untuk mencapai proses ini, guru
harus memiliki gaya belajar yang menantang siswa dan menarik. Sehingga pengelolaan
pembelajaran benar-benar menarik, menyenangkan, dan bermanfaat bagi siswa.
Pendekatan Out-door learning juga menggunakan setting alam terbuka sebagai sarana
kelas, untuk memberikan dukungan proses pembelajaran secara menyeluruh yang dapat
menambah aspek kegembiraan dan kesenangan.

Anak tunagrahita umumnya memiliki masalah-masalah atau kesulitan dalam interaksi
kelompok maupun individu di lingkungan sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan
kehidupan sosialnya cenderung terisolasi dari lingkungan masyarakat, bahkan keluarga
akibat ketidak mampuan dalam penyesuaian dirinya. Pendekatan Out-door learning
mengasah aktivitas fisik dan sosial anak tunagrahita. Di mana anak akan lebih banyak
melakukan kegiatan-kegiatan yang secara tidak langsung melibatkan kerja sama antar
teman dan kemampuan berkreasi. Aktivitas ini akan memunculkan proses komunikasi,
pemecahan masalah, kreativitas, pengambilan keputusan, saling memahami, dan
menghargai perbedaan.

Berikut ini adalah beberapa konsep dasar yang melandasi pendekatan Out-door
learning, yaitu:
1. Pendidikan selama ini tidak menempatkan anak sebagai subyek.
2. Setiap anak berkebutuhan khusus adalah unik. Mereka mempunyai kelebihan dan
kelemahan masing-masing. Oleh karena itu, proses penyeragaman dan penyamarataan akan
membunuh keunikan tersebut. Keunikan yang dimiliki anak berkebutuhan khusus harus
mendapat tempat dan dicarikan peluang agar dapat lebih berkembang.
3. Dunia anak adalah dunia bermain, tetapi pelajaran banyak yang tidak disampaikan
lewat permainan.
4. Usia anak merupakan usia yang paling kreatif dalam hidup manusia, namun dunia
pendidikan tidak memberikan kesempatan bagi pengembangan kreativitas.
5. Anak berkebutuhan khusus mempunyai potensi yang akan muncul dan sangat bergantung
bagaimana cara memperlakukan potensi mereka.

Elemen-elemen penting yang perlu diperhatikan dalam pendekatan Out-door learning,
yaitu:
1. Alam terbuka sebagai sarana kelas. Penggunaan setting alam terbuka sebagai sarana
kelas memberikan dukungan terhadap proses pembelajaran secara menyeluruh dan
sekaligus membebaskan anak berkebutuhan khusus dari himpitan suasana empat dinding
dan ritme belajar yang biasa mereka alami.
2. Berkunjung ke obyek langsung. Obyek langsung merupakan sumber belajar bagi anak
berkebutuhan khusus. Siswa diharapkan berada langsung pada dunia nyata, bukan
sekedar cerita dari guru. Ini mendorong intensitas keterlibatan siswa baik secara
fisik, mental, dan emosional.
3. Unsur bermain sebagai dasar pendekatan. Kelas alam terbuka dan mengunjungi obyek
langsung, merupakan tempat yang ideal. Khususnya dalam melakukan proses pembelajaran
berdasarkan pengalaman (experiental learning). Kombinasi aspek lingkungan dan
berbagai permainan memberikan kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus untuk
mengubah berbagai pola tingkah laku dan kebiasaan sehari-hari melalui proses yang
menyenangkan dan penuh kegembiraan.
4. Guru harus mempunyai komitmen. Berani berkomitmen untuk mengubah paradigma selama
ini keparadigma baru yang dibutuhkan masyarakat. Di mana guru tidak saja
mengembangkan dan mengasah kecerdasan intelektual anak berkebutuhan khusus, tetapi
memadukan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual, dan
kecerdasan lainnya dalam proses pembelajaran.

Berbagai upaya dan motivasi dalam pembelajaran harus terus dilakukan agar memudahkan
anak berkebutuhan khusus berkembang seoptimal mungkin, sebab mereka pasti akan hidup
kembali pada masyarakat. Diperlukan berbagai kiat yang bisa digunakan dalam
melaksanakan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan yang
berorientasi pada siswa dan berangkat pada siswa.

Sumber :Dini Suardini dan Irine Puspita
Guru SLB Negeri Subang
Jalan Trubus (Blkng Kel. Karang Anyar) – Kab. Subang

2 komentar: